24 hari, sejak tulisan saya yang terakhir di blog ini. Baru kali ini lagi saya menyentuh keyboard laptop saya dan mulai menari dengan jari saya kembali. Dengan ini, challenge saya untuk menulis selama 365 hari berturut-turut saya nyatakan resmi gagal. I can’t finish it. Baru beberapa hari sudah ada yang bolong-bolong ngga nulis. Well, konsistensi itu sangat mahal sekali harganya.
Kenapa saya bisa sampai gagal di challenge yang saya buat sendiri? Ada satu faktor yang sangat berperan penting dalam challenge ini. Sebuah kata, yang bisa merubah apapun menjadi apapun. Ketika saya memustuskan untuk memulai challenge itu, saya memilikinya. Begitu menggebu. Namun seiring dengan berjalannya waktu, ia mulai pudar. Sebuah kata.
Semangat
Yang membuatmu bangun lebih pagi. Berangkat kerja lebih cepat. Bekerja lebih giat. Makan lebih banyak. Bergaul lebih sering. Balik ke kantor setelah istirahat lebih cepat. Pulang kerja lebih larut. Menulis lebih lancar. Suasana hati lebih ceria. Tidur lebih nyenyak.
Semangat
Yang bisa datang dan pergi tanpa disuruh. Menjaganya cukup sulit, seperti menjaga hubungan. Faktornya?
Banyak
Memang kata orang, yang paling utama bisa menimbulkan semangat adalah dari dalam diri sendiri. Memotivasi diri sendiri untuk menimbulkan kembali semangat yang hilang. Untuk mengingat kembali tujuan yang ingin dicapai. Kata orang, lingkungan eksternal hanya membawa pengaruh kecil bagi semangat diri. Kata orang sih begitu. Bagi sebagian orang. Iya. Tapi bagi saya, belum tentu. Semangat adalah gabungan yang proporsional antara diri sendiri dan lingkungannya. Bagi saya. Seperti itu.
Saya dulu semangat menulis karena awalnya membaca sebuah artikel mengenai orang yang menulis 365 hari berturut-turut dan membawa hasil yang positif bagi pengembangan dirinya. Saya juga ingin seperti itu. Semangat saya tinggi. Tak perduli katanya menulis tiap hari itu sulit. Tapi akhirnya saya lakukan.
Sampai suatu ketika, mulai terasa bahwa menulis setiap hari itu benar-benar sulit. Mengetahui bahwa tulisan yang saya buat ternyata tidak signifikan. Tidak mendapat respon yang saya ekspektasikan. Suasana hati yang sering berubah-ubah. Mengetahui bahwa yang membaca tulisan saya hanya sedikit. Nah kan, melenceng dari tujuan aslinya. Hal-hal di atas menurunkan semangat secara cukup signifikan.
Menulis yang bermakna, menurut saya membutuhkan semangat ekstra. Semangat, yang didalamnya ditunjang oleh suasana hati. Ada bahagia, dan sedih. Keduanya menimbulkan semangat. Semangat untuk mengungkapkan kebahagiannya, atau kesedihannya. Tapi saya yakin bahwa semangat lebih identik dengan kebahagiaan. Saya merasakannya. Kalau lagi bahagia, ekspresi lebih mudah dikeluarkan, disalurkan. Kalau lagi sedih, bisa juga sih berekspresi, tapi biasanya sudah tidak punya tenaga.